Blogger Widgets
Hatsune Miku

widgets

Politeknik Kesehatan Jakarta 2

Jalan Hang Jebat 3 Jakarta Selatan .

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Senin, 20 Mei 2013

Siapakah Samiri ?


Di dalam al-Qur’an, Allah Subhanahu wa Ta’ala mengisahkan tentang ujian-Nya kepada bani Israil. Mereka diuji dengan patung anak sapi ciptaan Samiri yang terbuat dari emas. Akhirnya sebagian dari mereka pun tersesat mengikuti ajakan Samiri menyembah berhala tersebut. Allah Ta’ala berfirman kepada Nabi Musa ‘alaihissalam:
“Maka sesungguhnya Kami telah menguji kaummu sesudah kamu tinggalkan, dan mereka telah disesatkan oleh Samiri.” (Thaha: 85)
Maka Nabi Musa ‘alaihissalam pun marah karenanya. Siapakah Samiri ini yang telah membuat murka Nabi Musa ‘alaihissalam?
Samiri ini, menurut sebagian ahli tarikh, adalah salah seorang bani Israil yang terasing di antara mereka. Ada pula yang berpendapat lain, dia termasuk penduduk Karman atau Bajarna, dan nama aslinya adalah Mikha, atau Musa bin Zhafar. Samiri adalah penisbatan kepada salah satu kabilah bani Israil.
Dahulu, Samiri bergaul dengan orang-orang yang menyembah patung anak sapi, sehingga cintanya kepada anak sapi benar-benar merasuk tulang.
Setelah Fir’aun tenggelam dan bani Israil menyeberangi Laut Merah dengan selamat, mereka melewati sebuah negeri yang penduduknya menyembah anak sapi. Melihat keadaan penduduk tersebut, mereka pun berkata kepada Nabi Musa ‘alaihissalam, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,
“Hai Musa, buatlah untuk kami satu sesembahan sebagaimana mereka mempunyai beberapa sesembahan.” (al-A’raf: 138)
Dari sinilah muncul ambisi Samiri untuk mengajak bani Israil menyembah patung anak sapi. Dia teringat ketika Jibril berada di depan pasukan Fir’aun menggiring mereka memasuki laut yang terbelah. Waktu itu Jibril berada di atas kendaraannya, dan Samiri melihat jejak kaki kuda Jibril tersebut.
Kemudian Samiri mengambil segenggam tanah bekas jejak kaki kuda itu dan menyimpannya dalam sebuah kantong. Ketika bani Israil melemparkan emas dan perhiasan mereka ke dalam api yang sedang berkobar melahap perhiasan tersebut hingga meleleh. Samiri melemparkan tanah yang disimpannya ke tumpukan emas yang sudah meleleh dalam kobaran api itu sambil berkata, “Jadilah anak sapi!”
Dengan kekuasaan Allah Subhanahu wa Ta’ala, cairan emas dan perhiasan itu menjadi patung seekor anak sapi yang mengeluarkan suara. Hal ini semakin membenamkan bani Israil ke dalam fitnah (ujian) karena kebodohan mereka. Menurut Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, patung itu bersuara karena angin yang masuk dari dubur sapi itu dan keluar dari mulut.
Wallahu a’lam.
Bagaimana Samiri mengenali Jibril? Wallahu a’lam, sebagian orang menceritakan bahwa ketika Fir’aun membantai anak laki-laki bani Israil, ibu Samiri juga berusaha menyelamatkan putranya, seperti halnya ibu Nabi Musa ‘alaihissalam.
Samiri disembunyikan di dalam sebuah gua oleh ibunya lalu ditinggal pergi. Diceritakan mereka bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala mengutus Jibril merawat bayi ini untuk satu urusan yang sudah ditentukan oleh Allah ‘Azza wa Jalla. Sejak saat itulah Samiri mengenal Jibril. Ketika bani Israil menyeberangi laut bersama Nabi Musa dan Harun ‘alaihimassalam, Jibril berada di depan rombongan itu di atas kudanya.
Samiri mengenalinya, lalu mengambil bekas tapak kaki kuda Jibril yang membuat tanah yang diinjaknya menghijau.
Menurut sebagian ahli kitab, nama Samiri adalah penisbatan kepada kota Samirah yang dibangun seratus tahun sesudah Nabi Musa ‘alaihissalam. Jadi, tidak mungkin yang menyesatkan bani Israil sehingga menyembah patung anak sapi salah seorang penduduk kota yang munculnya seratus tahun kemudian. Dari sinilah mereka menganggap al-Qur’an salah dan mengatakan bahwa Nabi Harun ‘alaihissalam-lah yang membuat patung tersebut. Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala membinasakan mereka.
Di dalam kitab-kitab Israiliyat sendiri, dia mempunyai nama yang sama dengan Nabi Harun bin ‘Imran, saudara Nabi Musa ‘alaihissalam, yaitu Harun as-Samiri.
Dari sini pula, entah karena sengaja atau karena kebodohan, mereka menuduh Nabi Harun-lah yang menyesatkan bani Israil. Wallahul musta’an.
Yang jelas, al-Qur’anul Karim menyebut nama ini, dan berarti tokoh ini ada, entah dengan nama sebagaimana yang termaktub dalam al-Qur’anul Karim, atau dengan nama dalam bahasa Ibrani lalu disesuaikan dengan dialek Arab. [1]
Wallahu a’lam.
Footnote:
[1] Pada akhirnya Samiri telah merasakan buah dari kejahatan dan kesesatannya di dunia. Seumur hidupnya, dia selalu berkata kepada orang lain, “Jangan sentuh saya,” karena setiap kali tubuhnya disentuh, dia merasa seperti terbakar. Itulah hukuman bagi orang-orang yang melakukan kesyirikan, bahkan mengajak orang lain ke dalam kesesatan. (Lihat majalah Asy Syariah no. 87 hal. 74)
[Faidah ini diambil dari majalah Asy Syariah dalam artikel berjudul: "Bani Israil Menyembah Anak Sapi" oleh Al-Ustadz Abu Muhammad Harits, hal. 71 & 107, dengan penambahan mukadimah dari admin]

Shalat Sunnah apa saja yang dilakukan secara berjamaah


Oleh: Ust. Dzulqarnain M. Sunusi
Tanya: Shalat sunnah apa saja yang bisa dilakukan secara berjamâ’ah?
Jawab:
Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, “Shalat sunnah (Tathawwu’) dalam berjamâ’ah ada dua macam,
Pertama, shalat sunnah yang disyariatkan berjamâ’ah secara terus menerus, seperti (shalat) kusuf (gerhana), (shalat) istisqâ (meminta hujan) dan qiyam ramadhan (tarawih). Ini dikerjakan dalam berjamâ’ah terus menerus sebagaimana ketentuan sunnah telah berlaku.
Kedua, shalat sunnah yang tidak disunnahkan berjamâ’ah secara terus menerus, seperti shalat malam, shalat sunnah rawatib, shalat dhuha, tahiyyatul masjid dan semisalnya. Ini apabila kadang-kadang dilakukan secara berjamâ’ah tidak masalah. Adapun berjama’ah secara terus menerus dalam hal tersebut adalah hal yang tidak disyari’atkan, bahkan suatu bid’ah yang dibenci, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, para shahabat dan para tabi’in tidak memiliki kebiasaan berkumpul untuk shalat-shalat yang dilakukan terus menerus terhadap lebih dari (apa yang telah disebutkan).
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam hanya kadang-kadang melakukan tathawwu’ dalam hal tersebut pada suatu jama’ah yang sedikit. Beliau biasanya shalat malam sendirian, namun tatkala Ibnu ‘Abbas tidur di rumahnya, Ibnu ‘Abbas ikut shalat bersamanya [sebagaimana dalam hadits riwayat Al-Bukhary dan Muslim, pent.]. Pada malam lain, Hudzifah shalat bersama beliau [sebagaimana dalam hadits riwayat Muslim, pent.]. Pada malam lain (lagi), Ibnu Mas’ud shalat bersama beliau [sebagaimana dalam hadits riwayat Al-Bukhary dan Muslim, pent.].
Demikian pula beliau shalat di rumah ‘Itbân bin Malik Al-Anshary di suatu tempat yang dia jadikan sebagai tempat shalat, (Itbân) ikut shalat bersama beliau [sebagaimana dalam hadits riwayat Al-Bukhary dan Muslim, pent.]. Demikian juga beliau shalat bersama Anas, Ibu (Anas) dan seorang anak yatim [sebagaimana dalam hadits riwayat Al-Bukhary dan Muslim, pent.]. Dan kebanyakan tathawwu’ beliau adalah beliau lakukan sendirian…” [Majmu’ Al-Fatawa 23/414]

Tata Cara Shalat Jenazah


Keutamaan Menshalatkan Jenazah
Diriwayatkan dari Abu Hurairah yang mengatakan: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam:
“Barangsiapa yang menghadiri jenazah, hingga jenazah itu dishalatkan , maka ia mendapat pahala satu qirath. Dan barangsiapa yang menghadiri jenazah hingga dikuburkan, maka ia mendapat dua qirath. Ada yang bertanya: “Seperti apa dua qirath itu?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam menjawab, “Seperti dua gunung yang besar.” (HR. Imam Bukhari dan Imam Muslim)
Hukum Shalat Jenazah
Hukum shalat jenazah adalah fardhu kifayah, yaitu apabila sudah ada sebagian dari kaum muslimin yang mengerjakannya, maka gugur dosa dari sebagian kaum muslimin yang lainnya. Jadi bagi sebagian kaum muslimin yang lain mengerjakannya adalah sunnah. Sedangkan apabila semuanya tidak mengerjakan, maka mereka semuanya berdosa.
Syarat-syaratnya:
1. Niat
2. Menghadap kiblat
3. Menutup aurat
4. Orang yang mengerjakan dalam keadaan suci
5. Menjauhi najis
6. Yang menshalatkan maupun yang dishalatkan harus beragama Islam 7. Menghadiri jenazah tersebut apabila jenazah itu berada di dalam negerinya 8. Orang yang menshalatkan adalah orang yang mukallaf
Rukun-rukunnya:
1. Berdiri di dalam shalat jenazah itu
2. Melakukan takbir yang empat
3. Membaca surat Al Fatihah
4. Mendoakan shalawat atas Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wassalam 5. Mendoakan jenazah tersebut
6. Tertib
7. Salam
Sunnah-sunnahnya:
1. Mengangkat kedua tangan pada setiap kali takbir
2. Membaca doa isti’adzah (ta’awwudz) sebelum membaca Al Fatihah 3. Mendoakan kebaikan bagi diri sendiri dan kaum muslimin
4. Tidak mengeraskan suara ketika membaca Al Fatihah
5. Berdiri sebentar setelah takbir yang keempat sebelum salam 6. Meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri
7. Menoleh ke kanan ketika mengucapkan salam
Tata Cara Shalat Jenazah
1. Seorang imam atau seorang munfarid berdiri di sisi kepala jenazah laki-laki. Adapun jika jenazah itu perempuan, maka berdiri di sisi tengahnya (di sisi pusar). Sedangkan makmum berdiri di belakang imam. Dan disunnahkan untuk menjadikannya tiga shaf.
2. Kemudian melakukan takbiratul ihram dan setelah itu langsung membaca ta’awwudz, tanpa membaca doa istiftah. Lalu membaca basmalah dan surat Al Fatihah.
3. Kemudian bertakbir yang kedua dan setelah itu mendoakan shalawat atas Nabi shallallahu ‘alaihi wassalam sebagaimana shalawat yang dibaca di dalam tasyahhud (at tahiyat) di dalam shalat pada umumnya.
4. Kemudian bertakbir yang ketiga, lalu membaca doa kebaikan untuk si mayit dengan doa-doa yang terdapat di dalam As Sunnah. Di antaranya adalah doa:
“Allahummaghfir lihayyinaa wa mayyitinaa, wa syaahidinaa wa ghaa-ibinaa, wa shaghiirinaa wa kabiirinaa, wa dzakarinaa wa untsaanaa. Innaka ta’lamu manqalabanaa wa matswaanaa. Wa anta ‘alaa kulli syai’in qadiir. Allahummaghfir lahu warhamhu, wa ‘aafihi wa’fu ‘anhu, wa akrim nuzulahu, wa wassi’ mudkhalahu. Waghsilhu bil maa-i wats tsalji wal barad. Wa naqqihi minadz dzunuubi wal khathaayaa kamaa yunaqqats tsaubul abyadhu minad danas. Wa abdilhu daaran khairan min daarihi, wa zaujan khairan min zaujihi. Wa adkhilhul jannata wa a’idz-hu min ‘adzaabil qabri wa min ‘adzaabin naari. Wa afsih lahu fii qabrihi wa nawwir lahu fiihi. Allahumma man ahyaitahu minna fa ahyihi ‘alal Islaam, wa man tawaffaitahu minnaa fa tawaffahu ‘alal imaan.”
Artinya:
“Ya Allah ampunilah orang yang masih hidup maupun orang yang sudah mati di antara kami, orang yang hadir maupun orang yang tidak hadir di antara kami, orang yang masih kecil maupun orang yang sudah tua di antara kami, yang laki-laki maupun perempuan di antara kami. Sesungguhnya Engkau mengetahui tempat kembali dan tempat tinggal kami. Dan Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu. Ya Allah ampunilah ia dan berikan rahmat kepadanya, serta sejahterakanlah dan maafkanlah ia. Muliakanlah tempat kedatangannya dan luaskanlah tempat masuknya. Mandikanlah ia dengan air, salju dan embun. Bersihkanlah ia dari dosa-dosanya sebagaimana dibersihkannya kain yang putih dari kotoran. Gantilah ia dengan rumah yang lebih baik dari rumahnya, keluarga yang lebih baik dari keluarganya, istri yang lebih baik dari istrinya. Masukkanlah ia ke dalam Jannah dan lindungilah ia dari azab kubur dan azab Neraka. Dan ltaskanlah kubur untuknya serta terangilah ia di dalamnya. Ya Allah barangsiapa yang Engkau hidupkan di antara kami maka hidupkanlah ia di atas Islam. Dan barangsiapa yang Engkau wafatkan di antara kami maka wafatkanlah ia di atas iman.”
Bisa pula mengambil sebagian dari doa di atas sesuai dengan lafazh yang disebutkan dalam nash hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, Imam Nasaa’i, dan Imam Ibnu Majah maupun yang lain:
“Allahummaghfir lahu warhamhu, wa ‘aafihi wa’fu ‘anhu, wa akrim nuzulahu, wa wassi’ mudkhalahu. Waghsilhu bil maa-i wats tsalji wal barad. Wa naqqihi minadz dzunuubi wal khathaayaa kamaa yunaqqats tsaubul abyadhu minad danas. Wa abdilhu daaran khairan min daarihi, wa zaujan khairan min zaujihi. Wa adkhilhul jannata wa a’idz-hu min ‘adzaabil qabri wa min ‘adzaabin naari.”
Artinya:
“Ya Allah ampunilah ia dan berikan rahmat kepadanya, serta sejahterakanlah dan maafkanlah ia. Muliakanlah tempat kedatangannya dan luaskanlah tempat masuknya. Mandikanlah ia dengan air, salju dan embun. Bersihkanlah ia dari dosa-dosanya sebagaimana dibersihkannya kain yang putih dari kotoran. Gantilah ia dengan rumah yang lebih baik dari rumahnya, keluarga yang lebih baik dari keluarganya, istri yang lebih baik dari istrinya. Masukkanlah ia ke dalam Jannah dan lindungilah ia dari azab kubur dan azab Neraka.”
Atau sebagaimana yang terdapat di dalam riwayat Imam Abu Dawud, Imam Ibnu Majah dan Imam Al Baihaqi maupun yang lain:
“Allahummaghfir lihayyinaa wa mayyitinaa, wa syaahidinaa wa ghaa-ibinaa, wa shaghiirinaa wa kabiirinaa, wadzakarinaa wa utsaanaa. Allahumma man ahyaitahu minna fa ahyihi ‘alal Islaam, wa man tawaffaitahu minnaa fa tawaffahu ‘alal imaan. Allahumma laa tahrimnaa ajrahu wa laa tudhilnaa ba’dahu.”
Artinya:
“Ya Allah ampunilah orang yang masih hidup maupun orang yang sudah mati di antara kami, orang yang hadir maupun orang yang tidak hadir di antara kami, orang yang masih kecil maupun orang yang sudah tua di antara kami, yang laki-laki maupun perempuan di antara kami. Ya Allah barangsiapa yang Engkau hidupkan di antara kami maka hidupkanlah ia di atas Islam. Dan barangsiapa yang Engkau wafatkan di antara kami maka wafatkanlah ia di atas iman. Ya Allah jangan Engkau haramkan (halangi) kami dari mendapat pahala (atas musibah kematian)-nya dan jangan Engkau sesatkan kami sepeninggalnya.”
Adapun jika jenazah tersebut adalah seorang wanita, maka lafazh doanya dengan menggunakan dhamir mu’annats (kata ganti untuk wanita, yakni dhamir HU diganti HA), menjadi:
“Allahummaghfir laha warhamha, wa ‘aafiha wa’fu ‘anha, wa akrim nuzulaha, wa wassi’ mudkhalaha. Waghsilha bil maa-i wats tsalji wal barad. Wa naqqiha minal khathaayaa kamaa yunaqqats tsaubul abyadhu minad danas. Wa abdilha daaran khairan min daariha, wa zaujan khairan min zaujiha. Wa adkhilhl jannata wa a’idz-ha min ‘adzaabil qabri wa min ‘adzaabin naari.” (Artinya sama dengan di atas).
Sedangkan apabila jenazah tersebut adalah anak kecil, maka mengucapkan doa:
“Allahummaj’alhu dzukh-ran liwaalidaihi wa farathan wa ajran wa syafii’an mujaaban. Allahumm tsaqqil bihi mawaaziinahuma wa a’dhim bihi ujuurahuma wa alhiq-hu bi shaalihi salafil mukminin. Waj’alhu fii kifaalati Ibraahiima wa qihi birahmatika ‘adzaabal Jahiim.”
Artinya:
“Ya Allah, jadikanlah ia sebagai simpanan bagi kedua orang tuanya, sebagai pendahulu, tambahan pahala, dan pemberi syafaat yang mustajab (bagi kedua orang tuanya). Ya Allah, beratkanlah timbangan kedua orang tuanya dengan sebab musibah kematiannya, perbesarlah pahala bagi keduanya, susulkanlah ia kepada orang-orang shalih dari salaf (pendahulu) kaum mukminin, masukkanlah ia ke dalam asuhan Ibrahim dan peliharalah ia dari azab Neraka Jahim.”
5. Kemudian bertakbir yang keempat lalu mengucapkan doa:
“Allahumma laa tahrimnaa ajrahu wa laa taftinnaa ba’dahu.”(Dhamir HU juga diganti dengan HA apabila jenazahnya wanita)
Artinya:
“Ya Allah jangan Engkau halangi kami dari mendapat pahala (atas musibah kematian)-nya dan jangan Engkau menguji kami sepeninggalnya.”
6. Kemudian diam berdiri sejenak lalu mengucapkan satu kali salam seraya menoleh ke arah kanan. Berdasarkan hadits yang dikeluarkan oleh Imam Daruquthny, Imam Al Hakim dan Imam Al Baihaqi dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu yang mengatakan:
“Bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam pernah menshalatkan jenazah, lalu beliau bertakbir empat kali kemudian melakukan salam satu kali.”
Boleh juga salam dua kali ke kanan dan ke kiri berdasar kepada hadits yang dikeluarkan oleh Imam Al Baihaqi dengan sanad yang jayyid dari Abdullah Ibnu Mas’ud yang mengatakan:
“Tiaga cabang yang selalu dilakukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam, tetapi ditinggalkan oleh manusia, salah satunya adalah salam dalam shalat jenazah seperti salam di dalam shalat (yang lain).”
Dan salam ini dilakukan dengan sirr (tidak keras).
Barangsiapa ketinggalan sebagian dari shalat jenazah, maka ia bisa langsung masuk bersama imam mengikuti shalat imam yang tersisa. Kemudian apabila imam melakukan salam, maka ia menyelesaikan shalatnya yang terluput sesuai dengan tata cara (urutan) yang telah disebutkan di atas. Adapun jika ia khawatir jenazah akan segera diangkat, maka melakukan takbir-takbir saja secara langsung (tanpa bacaan pemisah antar takbir-takbir itu) lalu melakukan salam.
Barangsiapa terluput dari menshalatkan jenazah, tetapi jenazah itu belum dikubur, maka ia bisa menshalatkannya di atas kuburnya. Boleh pula ia menshalatkan jenazah yang telah dikubur. Caranya, ia berdiri menghadap makam dan kiblat sekaligus, kemudian melakukan shalat sebagaimana shalat jenazah.
Barangsiapa ghaib (tidak hadir) di negeri tempat jenazah itu berada, sedangkan ia mengetahui tentang kematiannya, maka ia boleh menshalatkan jenazah itu secara ghaib dengan niat. Namun pendapat yang rajih bahwa shalat jenazah secara ghaib ini hanya dilakukan apabila di tempat jenazah tersebut tidak ada yang menshalatkannya, seperti apabila ia meninggal di negeri kafir.
Janin seorang wanita yang gugur dalam keadaan mati dan usianya benar-benar telah genap empat bulan atau lebih, maka dishalatkan sebagaina shalat jenazah. Adapun apabila kurang dari empat bulan, maka tidak dishalatkan. Berdasarkan hadits Al Mughirah bin Syu’bah radhiyallahu ‘anhu yang mengatakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda:
“Para pengendara (berjalan) di belakang jenazah, yang berjalan kaki terserah, (bisa di belakangnya, depannya, kanannya atau kirinya yang dekat dengannya). Dan anak kecil juga dishalatkan (kedua orang tuanya didoakan dengan maghfirah dan rahmat).”
Dibolehkan menshalatkan jenazah di masjid, berdasarkan perbuatan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam (HR. Muslim). Namun menurut anjuran sunnah Nabi, hendaklah menyiapkan tempat khusus di luar masjid untuk penyelenggaraan shalat jenazah. Agar masjid tidak menjadi kotor (tetap terjaga kebersihannya), dan hendaknya tempat khusus itu dekat dengan pekuburan agar lebih memudahkan masyarakat umum.
Wallahu a’lam bish-shawab.

Memandikan , Mengkafani dan Menguburi Jenazah


Berikut ini kami sajikan kepada anda secara ringkas tata cara mengkafani, memandikan dan menguburkan jenazah sesuai tuntunan syariat disertai ilustrasi gambar pendukungnya. Semoga bermanfaat.
A. TATA CARA MEMANDIKAN JENAZAH

1. Alat dan bahan yang dipergunakan
alat & bahan
Alat-alat yang dipergunakan untuk memandikan jenazah adalah sebagai berikut:
- Kapas
- Dua buah sarung tangan untuk petugas yang memandikan
- Sebuah spon penggosok
- Alat penggerus untuk menggerus dan menghaluskan kapur barus – Spon-spon plastik
- Shampo
- Sidrin (daun bidara)
- Kapur barus
- Masker penutup hidung bagi petugas
- Gunting untuk memotong pakaian jenazah sebelum dimandikan
- Air
- Pengusir bau busuk
- Minyak wangi
 >Daun Sidr (Bidara)
2. Menutup aurat si mayit
menutup aurat mayit
Dianjurkan menutup aurat si mayit ketika memandikannya. Dan melepas pakaiannya, serta menutupinya dari pandangan orang banyak. Sebab si mayit barangkali berada dalam kondisi yang tidak layak untuk dilihat. Sebaiknya papan pemandian sedikit miring ke arah kedua kakinya agar air dan apa-apa yang keluar dari jasadnya mudah mengalir darinya.
3. Tata cara memandikan
memandikan mayit
Seorang petugas memulai dengan melunakkan persendian jenazah tersebut. Apabila kuku-kuku jenazah itu panjang, maka dipotongi. Demikian pula bulu ketiaknya. Adapun bulu kelamin, maka jangan mendekatinya, karena itu merupakan aurat besar. Kemudian petugas mengangkat kepala jenazah hingga hampir mendekati posisi duduk. Lalu mengurut perutnya dengan perlahan untuk mengeluarkan kotoran yang masih dalam perutnya. Hendaklah memperbanyak siraman air untuk membersihkan kotoran-kotoran yang keluar.
membersihkan mayit
Petugas yang memandikan jenazah hendaklah mengenakan lipatan kain pada tangannya atau sarung tangan untuk membersihkan jasad si mayit (membersihkan qubul dan dubur si mayit) tanpa harus melihat atau menyentuh langsung auratnya, jika si mayit berusia tujuh tahun ke atas.
4. Mewudhukan jenazah
Selanjutnya petugas berniat (dalam hati) untuk memandikan jenazah serta membaca basmalah. Lalu petugas me-wudhu-i jenazah tersebut sebagaimana wudhu untuk shalat. Namun tidak perlu memasukkan air ke dalam hidung dan mulut si mayit, tapi cukup dengan memasukkan jari yang telah dibungkus dengan kain yang dibasahi di antara bibir si mayit lalu menggosok giginya dan kedua lubang hidungnya sampai bersih.
Selanjutnya, dianjurkan agar mencuci rambut dan jenggotnya dengan busa perasan daun bidara atau dengan busa sabun. Dan sisa perasan daun bidara tersebut digunakan untuk membasuh sekujur jasad si mayit.
5. Membasuh tubuh jenazah
membasuh tubuh mayit
Setelah itu membasuh anggota badan sebelah kanan si mayit. Dimulai dari sisi kanan tengkuknya, kemudian tangan kanannya dan bahu kanannya, kemudian belahan dadanya yang sebelah kanan, kemudian sisi tubuhnya yang sebelah kanan, kemudian paha, betis dan telapak kaki yang sebelah kanan.
mulai yg kanan
Selanjutnya petugas membalik sisi tubuhnya hingga miring ke sebelah kiri, kemudian membasuh belahan punggungnya yang sebelah kanan. Kemudian dengan cara yang sama petugas membasuh anggota tubuh jenazah yang sebelah kiri, lalu membalikkannya hingga miring ke sebelah kanan dan membasuh belahan punggung yang sebelah kiri. Dan setiap kali membasuh bagian perut si mayit keluar kotoran darinya, hendaklah dibersihkan.
Banyaknya memandikan: Apabila sudah bersih, maka yang wajib adalah memandikannya satu kali dan mustahab (disukai/sunnah) tiga kali. Adapun jika belum bisa bersih, maka ditambah lagi memandikannya sampai bersih atau sampai tujuh kali (atau lebih jika memang dibutuhkan). Dan disukai untuk menambahkan kapur barus pada pemandian yang terakhir, karena bisa mewangikan jenazah dan menyejukkannya. Oleh karena itulah ditambahkannya kapur barus ini pada pemandian yang terakhir agar baunya tidak hilang.
Dianjurkan agar air yang dipakai untuk memandikan si mayit adalah air yang sejuk, kecuali jika petugas yang memandikan membutuhkan air panas untuk menghilangkan kotoran-kotoran yang masih melekat pada jasad si mayit. Dibolehkan juga menggunakan sabun untuk menghilangkan kotoran. Namun jangan mengerik atau menggosok tubuh si mayit dengan keras. Dibolehkan juga membersihkan gigi si mayit dengan siwak atau sikat gigi. Dianjurkan juga menyisir rambut si mayit, sebab rambutnya akan gugur dan berjatuhan.
Setelah selesai dari memandikan jenazah ini, petugas mengelapnya (menghandukinya) dengan kain atau yang semisalnya. Kemudian memotong kumisnya dan kuku-kukunya jika panjang, serta mencabuti bulu ketiaknya (apabila semua itu belum dilakukan sebelum memandikannya) dan diletakkan semua yang dipotong itu bersamanya di dalam kain kafan. Kemudian apabila jenazah tersebut adalah wanita, maka rambut kepalanya dipilin (dipintal) menjadi tiga pilinan lalu diletakkan di belakang (punggungnya).
Faedah
- Apabila masih keluar kotoran (seperti: tinja, air seni atau darah) setelah dibasuh sebanyak tujuh kali, hendaklah menutup kemaluannya (tempat keluar kotoran itu) dengan kapas, kemudian mencuci kembali anggota yang terkena najis itu, lalu si mayit diwudhukan kembali. Sedangkan jika setelah dikafani masih keluar juga, tidaklah perlu diulangi memandikannya, sebab hal itu akan sangat merepotkan.
- Apabila si mayit meninggal dunia dalam keadaan mengenakan kain ihram dalam rangka menunaikan haji atau umrah, maka hendaklah dimandikan dengan air ditambah perasaan daun bidara seperti yang telah dijelaskan di atas. Namun tidak perlu dibubuhi wewangian dan tidak perlu ditutup kepalanya (bagi jenazah pria). Berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam mengenai seseorang yang wafat dalam keadaan berihram pada saat menunaikan haji.
- Orang yang mati syahid di medan perang tidak perlu dimandikan, namun hendaklah dimakamkan bersama pakaian yang melekat di tubuh mereka. Demikian pula mereka tidak perlu dishalatkan.
- Janin yang gugur, bila telah mencapai usia 4 bulan dalam kandungan, jenazahnya hendaklah dimandikan, dishalatkan dan diberi nama baginya. Adapun sebelum itu ia hanyalah sekerat daging yang boleh dikuburkan di mana saja tanpa harus dimandikan dan dishalatkan.
- Apabila terdapat halangan untuk memamdikan jenazah, misalnya tidak ada air atau kondisi jenazah yang sudah tercabik-cabik atau gosong, maka cukuplah ditayamumkan saja. Yaitu salah seorang di antara hadirin menepuk tanah dengan kedua tangannya lalu mengusapkannya pada wajah dan kedua punggung telapak tangan si mayit.
- Hendaklah petugas yang memandikan jenazah menutup apa saja yang tidak baik untuk disaksikan pada jasad si mayit, misalnya kegelapan yang tampak pada wajah si mayit, atau cacat yang terdapat pada tubuh si mayit dll.
B. TATA CARA MENGKAFANI JENAZAH

1. Kafan-kafan mesti sudah disiapkan setelah selesai memandikan jenazah dan menghandukinya
persiapan mengkafani
Mengkafani jenazah hukumnya wajib dan hendaklah kain kafan tersebut dibeli dari harta si mayit. Hendaklah didahulukan membeli kain kafannya dari melunaskan hutangnya, menunaikan wasiatnya dan membagi harta warisannya. Jika si mayit tidak memiliki harta, maka keluarganya boleh menanggungnya.
2. Mengkafani jenazah
mengkafani mayit
Dibentangkan tiga lembar kain kafan, sebagiannya di atas sebagian yang lain. Kemudian didatangkan jenazah yang sudah dimandikan lalu diletakkan di atas lembaran-lembaran kain kafan itu dengan posisi telentang. Kemudian didatangkan hanuth yaitu minyak wangi (parfum) dan kapas. Lalu kapas tersebut dibubuhi parfum dan diletakkan di antara kedua pantat jenazah, serta dikencangkan dengan secarik kain di atasnya (seperti melilit popok bayi).
Kemudian sisa kapas yang lain yang sudah diberi parfum diletakkan di atas kedua matanya, kedua lubang hidungnya, mulutnya, kedua telinganya dan di atas tempat-tempat sujudnya, yaitu dahinya, hidungnya, kedua telapak tangannya, kedua lututnya, ujung-ujung jari kedua telapak kakinya, dan juga pada kedua lipatan ketiaknya, kedua lipatan lututnya, serta pusarnya. Dan diberi parfum pula antara kafan-kafan tersebut, juga kepala jenazah.
mengkafani mayit 2
Selanjutnya lembaran pertama kain kafan dilipat dari sebelah kanan dahulu, baru kemudian yang sebelah kiri sambil mengambil handuk/kain penutup auratnya. Menyusul kemudian lembaran kedua dan ketiga, seperti halnya lembaran pertama. Kemudian menambatkan tali-tali pengikatnya yang berjumlah tujuh utas tali. Lalu gulunglah lebihan kain kafan pada ujung kepala dan kakinya agar tidak lepas ikatannya dan dilipat ke atas wajahnya dan ke atas kakinya (ke arah atas). Hendaklah ikatan tali tersebut dibuka saat dimakamkan. Dibolehkan mengikat kain kafan tersebut dengan enam utas tali atau kurang dari itu, sebab maksud pengikatan itu sendiri agar kain kafan tersebut tidak mudah lepas (terbuka).
mengikat kain kafan
[Untuk pembahasan tata cara shalat jenazah, insya Allah akan kami jadikan artikel tersendiri]
C. TATA CARA MENGUBURKAN JENAZAH
Disunnahkan membawa jenazah dengan usungan jenazah yang di panggul di atas pundak dari keempat sudut usungan.
mengusung jenazah
Disunnahkan menyegerakan mengusungnya ke pemakaman tanpa harus tergesa-gesa. Bagi para pengiring, boleh berjalan di depan jenazah, di belakangnya, di samping kanan atau kirinya. Semua cara ada tuntunannya dalam sunnah Nabi.
Para pengiring tidak dibenarkan untuk duduk sebelum jenazah diletakkan, sebab Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam telah melarangnya.
liang kubur
Disunnahkan mendalamkan lubang kubur, agar jasad si mayit terjaga dari jangkauan binatang buas, dan agar baunya tidak merebak keluar.
Lubang kubur yang dilengkapi liang lahad lebih baik daripada syaq. Dalam masalah ini Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda:
“Liang lahad itu adalah bagi kita (kaum muslimin), sedangkan syaq bagi selain kita (non muslim).” (HR. Abu Dawud dan dinyatakan shahih oleh Syaikh Al-Albani dalam “Ahkamul Janaaiz” hal. 145)
lahad & syaq
Lahad adalah liang (membentuk huruf U memanjang) yang dibuat khusus di dasar kubur pada bagian arah kiblat untuk meletakkan jenazah di dalamnya.
Syaq adalah liang yang dibuat khusus di dasar kubur pada bagian tengahnya (membentuk huruf U memanjang).
jenazah siap dikubur
- Jenazah siap untuk dikubur. Allahul musta’an.
mengangkat jenazah
- Jenazah diangkat di atas tangan untuk diletakkan di dalam kubur.
memasukkan ke kubur
- Jenazah dimasukkan ke dalam kubur. Disunnahkan memasukkan jenazah ke liang lahat dari arah kaki kuburan lalu diturunkan ke dalam liang kubur secara perlahan. Jika tidak memungkinkan, boleh menurunkannya dari arah kiblat.
- Petugas yang memasukkan jenazah ke lubang kubur hendaklah mengucapkan: “BISMILLAHI WA ‘ALA MILLATI RASULILLAHI (Dengan menyebut Asma Allah dan berjalan di atas millah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam).” ketika menurunkan jenazah ke lubang kubur. Demikianlah yang dilakukan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam.
memiringkan mayit
Disunnahkan membaringkan jenazah dengan bertumpu pada sisi kanan jasadnya (dalam posisi miring) dan menghadap kiblat sambil dilepas tali-talinya selain tali kepala dan kedua kaki.
- Tidak perlu meletakkan bantalan dari tanah ataupun batu di bawah kepalanya, sebab tidak ada dalil shahih yang menyebutkannya. Dan tidak perlu menyingkap wajahnya, kecuali bila si mayit meninggal dunia saat mengenakan kain ihram sebagaimana yang telah dijelaskan.
menutup mayit dgn bata
- Setelah jenazah diletakkan di dalam rongga liang lahad dan tali-tali selain kepala dan kaki dilepas, maka rongga liang lahad tersebut ditutup dengan batu bata atau papan kayu/bambu dari atasnya (agak samping).
menutup dgn tanah liat
- Lalu sela-sela batu bata-batu bata itu ditutup dengan tanah liat agar menghalangi sesuatu yang masuk sekaligus untuk menguatkannya.
mengurug
- Disunnahkan bagi para pengiring untuk menabur tiga genggaman tanah ke dalam liang kubur setelah jenazah diletakkan di dalamnya. Demikianlah yang dilakukan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam. Setelah itu ditumpahkan (diuruk) tanah ke atas jenazah tersebut.
- Hendaklah meninggikan makam kira-kira sejengkal sebagai tanda agar tidak dilanggar kehormatannya, dibuat gundukan seperti punuk unta, demikianlah bentuk makam Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam (HR. Bukhari).
pemakaman
- Kemudian ditaburi dengan batu kerikil sebagai tanda sebuah makam dan diperciki air, berdasarkan tuntunan sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wassalam (dalam masalah ini terdapat riwayat-riwayat mursal yang shahih, silakan lihat “Irwa’ul Ghalil” II/206). Lalu diletakkan batu pada makam bagian kepalanya agar mudah dikenali.
- Haram hukumnya menyemen dan membangun kuburan. Demikian pula menulisi batu nisan. Dan diharamkan juga duduk di atas kuburan, menginjaknya serta bersandar padanya. Karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam telah melarang dari hal tersebut. (HR. Muslim)
- Kemudian pengiring jenazah mendoakan keteguhan bagi si mayit (dalam menjawab pertanyaan dua malaikat yang disebut dengan fitnah kubur). Karena ketika itu ruhnya dikembalikan dan ia ditanya di dalam kuburnya. Maka disunnahkan agar setelah selesai menguburkannya orang-orang itu berhenti sebentar untuk mendoakan kebaikan bagi si mayit (dan doa ini tidak dilakukan secara berjamaah, tetapi sendiri-sendiri!). Sesungguhnya mayit bisa mendapatkan manfaat dari doa mereka.
Wallahu a’lam bish-shawab.
Referensi:
1. Pengurusan Jenazah oleh Al Imam Muhyidiin Muhammad Al Barkawi & Wizaratu Asy Syu’uni Al Islamiyati Wal Auqafi Wad Da’wati Wal Irsyadi (Departemen Agama Islam, Urusan Waqaf, Dakwah dan Pengajaran) – Riyadh, Kerajaan Saudi Arabia. Penerjemah: Abu Yahya, penerbit: Maktabah Al-Ghuroba’, cet. Pertama, Mei 2010.
2. Shalat Jenazah Disertai dengan Tata Cara Mengurusnya oleh Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Al Jibrin, penerjemah: Abu Ihsan Al-Maidani Al-Atsari, penerbit: At-Tibyan, cet. Kedua, Maret 2001.